Pendahuluan
Globalisasi bukan cuma soal ekonomi dan perdagangan lintas negara. Lebih dari itu, ia adalah arus besar yang mengubah cara kita berpikir, berinteraksi, dan hidup. Di era ini, batas negara seolah menguap, tergantikan oleh notifikasi media sosial dan tren global yang menular secepat swipe jari. Generasi Milenial dan Gen Z, dua generasi yang tumbuh dalam pelukan teknologi, menjadi saksi sekaligus produk dari arus globalisasi ini.
Pola Hidup yang Kian Terhubung
Dulu, informasi butuh waktu berhari-hari untuk berpindah antarnegara. Sekarang? Hitungan detik. Milenial dan Gen Z hidup dalam realitas digital, di mana TikTok bisa mempertemukan budaya Korea dengan tarian tradisional Indonesia dalam satu layar. Dunia terasa kecil, tapi penuh warna. Dari gaya berpakaian hingga cara berbicara, semuanya dipengaruhi oleh budaya lintas batas yang tak pernah berhenti mengalir.
Namun, konektivitas ini juga membawa sisi lain — budaya lokal perlahan tergeser. Nilai-nilai tradisional kadang tampak “kurang keren” dibanding tren global yang sedang naik daun. Generasi muda sering kali dihadapkan pada dilema antara mengikuti arus global atau menjaga akar budaya sendiri.
Perubahan dalam Nilai Sosial dan Ekonomi
Globalisasi juga mengubah cara pandang terhadap kerja dan kesuksesan. Generasi Milenial lebih suka bekerja fleksibel, tak lagi terpaku pada jam kantor. Sementara Gen Z, tumbuh dengan ide bahwa penghasilan bisa datang dari mana saja — entah jadi konten kreator, streamer, atau freelancer internasional. Dunia kerja kini bukan lagi sekadar mencari uang, tapi juga mencari makna.
Namun, di balik semua itu, ada tekanan sosial yang meningkat. Persaingan makin ketat, standar kesuksesan makin tinggi, dan media sosial membuat semua orang terlihat “lebih bahagia” dari yang sebenarnya. Ironisnya, di era globalisasi yang serba terkoneksi, rasa kesepian justru makin terasa nyata.
Dampak pada Identitas dan Budaya Lokal
Ketika budaya global terus mendesak masuk, banyak generasi muda yang mulai kehilangan rasa identitas. Mereka lebih tahu tentang budaya barat ketimbang filosofi hidup nenek moyangnya. Tapi di sisi lain, globalisasi juga membuka ruang baru bagi budaya lokal untuk tampil di panggung dunia. Lihat saja bagaimana batik, gamelan, dan kuliner Indonesia bisa viral di media sosial berkat kreativitas anak muda.
Inilah paradoks globalisasi: ia bisa menjadi jembatan yang memperkenalkan budaya, tapi juga palu yang meruntuhkan akar identitas jika tak dijaga dengan bijak.
Penutup
Globalisasi adalah pisau bermata dua. Ia membawa kemajuan, tetapi juga tantangan. Generasi Milenial dan Gen Z harus cerdas memilah — mana yang perlu diadopsi, dan mana yang harus dijaga. Di tengah derasnya arus global, menjaga jati diri bukan berarti menolak perubahan, melainkan menari selaras di antara dua dunia: lokal dan global.
.png)